Aku dan Kau
Aku sudah jauh terlihat lebih baik, meskipun belum benar bisa dibilang baik. Aku sudah mulai belajar menerima takdir yang berterbalik dari keinginanku. Aku mulai memahami bahwa tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan harapan, dan mungkin memang begitu cara semesta mengajarkanku tentang ketabahan.
Aku sudah belajar berdamai dengan semua hal yang telah membuatku patah sejauh ini. Luka-luka itu masih ada, tapi tidak lagi menjerit. Mereka hanya diam, mengendap di sudut hati, mengajarkanku arti dari bertahan.
Aku juga sudah belajar mengikhlaskan semua yang pergi dari hidupku. Katanya, kematian bukanlah perpisahan, melainkan perpindahan. Karena aku kehilangan raganya, bukan kenangannya. Ia tetap hidup di dalam ingatanku—dalam tawa yang pernah kami bagi, dalam percakapan-percakapan larut malam, dalam semua hal kecil yang dulu terasa biasa, tapi kini begitu berarti.
Memang, aku tidak lagi bisa melihat matanya yang hangat, melihat senyumnya yang menenangkan, atau mendengar suara indahnya memanggil namaku. Tapi aku masih punya banyak kenangan bersamanya—kenangan yang kusimpan rapi di dalam hati, sebagai pengingat bahwa pernah ada seseorang yang begitu berarti, yang pernah hadir dan mengisi ruang di hidupku dengan cahaya.
Kini aku belajar untuk mencintai tanpa memiliki, mendoakan tanpa harus bertemu, dan merelakan tanpa melupakan. Karena sesungguhnya, cinta tidak pernah benar-benar hilang—ia hanya berubah bentuk, menjadi doa-doa yang lirih, menjadi harapan yang tulus, dan menjadi kenangan yang abadi.
Komentar
Posting Komentar