Bukan Kematian yang Paling Menyakitkan

Yang lebih menyakitkan, ternyata bukan kematiannya.

Bukan hilangnya sosok yang dulu begitu dekat, atau lenyapnya suara yang biasa mengisi hariku.
Bukan pula sunyinya hari-hari setelahnya, atau sepinya ruang yang dulu penuh tawa dan cerita.

Yang paling menyakitkan adalah ketika aku menatap kembali semua yang pernah aku perjuangkan—
dan menyadari: tak satu pun benar-benar berguna.

Segala lelah yang kutumpuk, waktu yang kuhabiskan, doa yang kulangitkan dengan linangan air mata,
semua terasa hampa saat akhirnya yang tersisa hanya diam dan kehilangan.
Ternyata, bukan tentang betapa kerasnya aku berjuang.
Tapi tentang kepada siapa aku bersandar.

Aku sibuk menjaga, memperjuangkan, dan mempertahankan—
namun lupa bahwa semua yang kutahan erat adalah milik Tuhan.
Aku ingin segalanya abadi, padahal dunia ini hanya singgah sebentar.
Aku menaruh harapan pada manusia, padahal mereka pun rapuh seperti aku.

Kini aku mengerti, bahwa setiap kehilangan adalah teguran halus dari langit:
"Apa yang engkau kejar? Untuk siapa engkau letakkan seluruh hatimu?"

Mungkin bukan perjuangannya yang sia-sia,
tapi arah hatiku yang salah menambatkan harap.
Mungkin bukan kematian yang menyakitkan,
tapi kenyataan bahwa aku terlalu menggantungkan segalanya pada sesuatu yang fana.

Kini aku belajar:
Berjuang tetaplah mulia,
tapi jangan pernah lupa menambatkan niat hanya pada-Nya.
Agar saat segalanya diambil, aku tak kehilangan segalanya—karena aku masih punya Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soal Hati

Aku Bermimpi

Menanti Mu