Cerita ku pada ibu
Nak, ke mana perempuan yang sering kau ceritakan pada Ibu?
Yang dulu kau sebut dalam tiap senyum dan sorot matamu yang tak bisa berbohong.
Dulu, setiap malam kau bercerita tentangnya....
tentang caranya menyebut namamu,
tentang langkahnya yang ringan seperti hujan awal musim.
Tentang harapan-harapan kecil yang tumbuh di antara kalian,
seperti benih yang kau siram dengan hati-hati.
Tapi kini, sunyi.
Namanya tak lagi melintasi bibirmu.
Kau bicara tentang banyak hal: kuliah, langit, dan bahkan berita-berita politik yang tak kau pedulikan sebelumnya.
Tapi tidak lagi tentang dia.
Apa yang terjadi, Nak?
Apakah ia pergi?
Atau ada luka yang kau sembunyikan agar tak kulihat?
Ibu tahu kau pandai menyimpan,
tapi Ibu juga tahu kapan anaknya sedang berusaha menepis bayang-bayang yang belum sempat mengucap selamat tinggal.
Bukan Ibu hendak mengungkit.
Hanya saja, Ibu merindukan caramu mencintai.
Merindukan binar di matamu yang tak Ibu temukan lagi akhir-akhir ini.
Jika ia masih tinggal dalam hatimu,
tak apa, Nak. Biarkan ia di sana, diam-diam,
sampai waktunya kau siap melepaskan,
atau memeluknya kembali.
Dan jika ia benar-benar pergi,
maka Ibu di sini—selalu,
untuk mendengarkan ceritamu lagi,
tentang siapa pun, atau tentang luka yang belum sempat menjadi puisi.
Komentar
Posting Komentar