Fokus

Saya lelah. Dan setiap kali rasa lelah itu datang, yang tiba-tiba terlintas di pikiran saya bukan pekerjaan, bukan target hidup, melainkan tentang pasangan. Saya sering bertanya-tanya, mengapa saat diri sedang paling rapuh, justru yang terlintas adalah keinginan untuk ditemani seseorang? Dari sana, saya mulai menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang pada dasarnya ingin dimengerti. Dan ketika tidak ada yang memahami, kita mulai mencari—siapa pun itu, bahkan yang mungkin sebenarnya kurang tepat.

Saya menempuh studi Jawa Barat, mengambil jurusan Pertanian. Sejak awal, saya memegang prinsip: ingin fokus. Fokus pada perkuliahan, fokus pada pekerjaan, dan fokus membereskan hidup saya sendiri. Awalnya, saya berpikir bahwa teman-teman mahasiswa dan mahasiswi di sini juga akan berpegang pada prinsip yang sama, mengingat kami sama-sama menempuh pendidikan Magister. Namun kenyataannya, tidak semua mampu bertahan pada ujian itu.

Termasuk saya sendiri—yang sering menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga diri di media sosial—ternyata juga diuji dalam hal yang sama. Namun, pada akhirnya saya tetap memilih untuk sendiri. Bukan karena tidak ada yang mendekat, tetapi karena saya tidak ingin jatuh cinta dalam keadaan kosong. Sebab cinta bukanlah alat untuk mengisi kekosongan.

Jika seseorang mencintai hanya karena rasa sepi, menurut saya, yang dicintai sebenarnya bukan orangnya, tetapi kebutuhannya sendiri. Aneh memang, ketika saya mulai benar-benar fokus, menjaga jarak, justru semakin banyak orang yang mendekat. Bukan karena saya tiba-tiba menjadi lebih menarik, tetapi karena fokus itu memancarkan energi—menjadi daya tarik tersendiri. Orang-orang yang sebelumnya hanya menyapa sekadarnya, mulai mengajak berbicara, bahkan bertemu. Dan dari situlah godaan datang. Karena perhatian, sekecil apa pun, dapat menggoyahkan siapa pun yang sedang lelah.

Namun saya selalu mengingatkan diri sendiri: cinta yang sehat hanya datang ketika seseorang telah penuh secara batin, dan mampu memberi secara utuh. Bukan dua jiwa kosong yang saling memeluk luka.

Saya pernah berada di posisi di mana seseorang hadir dengan perhatian yang tulus. Bukan sekadar lewat pesan singkat, tetapi benar-benar hadir secara nyata. Saat itu, saya sempat bertanya dalam hati: apakah saya terlalu kejam jika tetap menjaga jarak? Bagaimana jika ternyata dia adalah satu-satunya yang benar-benar bisa menerima saya apa adanya?

Namun suara hati saya berkata, “Jika kamu menurunkan standar hari ini, hanya karena takut sendiri, kamu akan membayar mahal di masa depan. Jangan karena kesepian, kamu jadi lupa siapa dirimu.”

Saya tahu, banyak dari kalian mungkin merasakan hal yang sama—merasa sendiri, bingung, dan sangat ingin dimengerti. Namun ketahuilah, kesepian bisa jadi ladang pertumbuhan. Dan pertumbuhan jauh lebih berharga daripada sekadar ditemani oleh orang yang salah.

Menurut saya, kesendirian bukan berarti tidak laku. Tapi itu adalah bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Saya terus mengingatkan diri, jangan pernah berkompromi hanya demi ada yang menemani. Karena Allah tidak pernah terlambat dalam mengirimkan yang terbaik. Asal kita bersabar, dan terus menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Jadi, jika kamu sedang berada di fase hidup seperti saya—fokus memperbaiki diri dan terus diuji—percayalah, kamu tidak sendiri. Jangan terburu-buru meminta ditemani. Mintalah kekuatan. Karena cinta yang sejati bukanlah pelarian, melainkan tujuan.

Dan ketika kamu sudah utuh, kamu tidak lagi membutuhkan orang lain untuk menyelamatkanmu. Kamu akan merasa cukup, dan akan dicintai dengan cara yang sehat.

Lalu bagaimana jika kita tetap sendiri, tetap merasa lelah dan kosong, padahal sudah berusaha menjadi pribadi yang lebih baik? Sudah menolak yang tidak sejalan, sudah berkomitmen memperbaiki diri? Maka jawabannya satu: kembalilah kepada Allah.

Kita boleh merasa lelah. Kita boleh sesekali merasa ingin disayangi, dimengerti, dan ditemani. Itu bukan kelemahan. Itu adalah fitrah sebagai manusia. Tapi jangan pernah lupa, Allah tahu persis letihnya hati kita. Dia menyaksikan saat kita bangun pagi untuk bekerja, belajar, dan mengejar tujuan. Allah tahu air mata yang jatuh diam-diam, tanpa kita sendiri mengerti sebabnya. Allah tahu betapa kuatnya kita terlihat di luar, padahal sedang berjuang hebat di dalam.

Dan justru karena itulah, Allah memanggil kita untuk kembali. Bukan kembali secara fisik, tapi kembali secara hati. Kembali ke tempat yang seharusnya menjadi sandaran. Kembali ke sumber kekuatan yang tidak pernah habis: kembali kepada-Nya.

Karena cinta tidak selalu harus datang dari manusia. Bahkan, cinta sejati tidak harus dimulai dari manusia. Cinta bisa hadir saat kamu membuka mushaf Al-Qur’an dan merasa seolah ayat itu sedang berbicara langsung kepadamu. Cinta bisa terasa saat kamu duduk di masjid setelah salat, dan merasakan ketenangan yang tidak bisa dijelaskan. Cinta bisa hadir saat kamu mempelajari satu ayat baru, dan merasa hatimu tersentuh.


-Adaptasi dari channel Zahid

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soal Hati

Aku Bermimpi

Menanti Mu