Hidup Tidak Punya Naskah
Hidup tidak punya naskah. Jalani saja.
Teman-teman, dulu aku pernah berpikir bahwa hidup itu seperti kanvas kosong yang bisa kita lukis sesuka hati. Tanpa sketsa, tanpa garis yang pasti, tanpa warna yang wajib. Tapi justru di sanalah letak keindahannya. Kita bebas mencoret, menghapus, dan memulai lagi.
Pertanyaannya, kenapa kita sering lupa bahwa kegagalan, rasa bersalah, atau kebencian itu hanyalah cat yang belum kering? Kita bisa mengubahnya, kalau kita mau.
Namun, seiring waktu berjalan, aku mulai menyadari satu hal penting: hidup tidak sesederhana atau sesistematis itu. Kadang kita gagal tanpa tahu alasannya. Kadang, orang yang dulunya terasa sangat dekat, perlahan menjadi asing—tanpa penjelasan yang masuk akal. Dan yang paling menyakitkan, terkadang kita bukan hanya menjadi korban dari cerita yang tidak berjalan sesuai harapan, tapi juga tanpa sadar menjadi bagian dari retaknya cerita itu.
Aku pernah ada di titik itu. Bukan sekadar tentang ditinggal pergi seseorang, tapi tentang rasa yang perlahan tumbuh menjadi jarak. Bukan karena ada yang salah dari satu pihak, tapi karena ada hal dalam diri yang belum selesai—yang butuh waktu dan ruang untuk dihadapi.
Dan ini bukan tentang kurang menghargai. Tapi ketika kita belum selesai berdamai dengan diri sendiri, ketika kita sedang belajar dewasa, kadang niat baik pun bisa melukai. Bukan karena kita ingin menyakiti, tapi karena kita belum cukup utuh untuk mencintai atau hadir secara penuh.
Dari situ aku belajar. Kadang, momen terburuk justru menjadi titik balik menuju versi terbaik dari diri kita.
Hidup ini memang tidak ada skripnya. Tidak ada yang mengajarkan bagaimana caranya pergi tanpa melukai, atau bagaimana meminta maaf saat semuanya sudah terlambat. Tidak ada pula yang memberi tahu bagaimana caranya berdamai dengan kesalahan yang tidak bisa diperbaiki.
Tapi dari semua itu, aku belajar untuk lebih jujur pada diri sendiri.
"The only way to make sense out of change is to plunge into it, move with it, and join the dance."
Kalau hari ini kamu merasa gagal, merasa tersesat, atau merasa pernah menjadi seseorang yang tidak kamu banggakan—ketahuilah, kamu tidak sendiri. Kita semua pernah ada di titik itu.
Merasa bersalah itu wajar. Kita manusia, bukan mesin. Kita pun tidak harus membenci diri sendiri hanya karena pernah melakukan kesalahan. Bahkan jika orang lain membenci kita karenanya, itu tidak apa-apa. Itu artinya kita masih hidup, masih belajar, dan masih diberi kesempatan untuk berubah.
Jadi, solusinya bagaimana? Teruslah berbuat baik. Tanpa perlu terus-menerus menoleh ke belakang. Tanpa menghakimi diri sendiri atas apa yang pernah terjadi. Tanpa harus memilih siapa yang pantas menerima kebaikan kita.
Dan satu hal lagi—tidak apa-apa untuk gagal. Hidup ini bukan film. Tidak ada sutradara yang mengatur setiap langkah kita. Tidak ada naskah yang menentukan kapan kita harus berhasil, atau bahwa kita akan selalu gagal.
Kalau hari ini kamu jatuh, besok adalah kesempatan untuk menulis ulang kisahmu. Kamu bebas mewarnai kanvas hidupmu dengan warna apa pun yang kamu inginkan.
"Success is not final. Failure is not fatal. It is the courage to continue that counts."
Kalau kamu sedang kecewa, marah, atau sedih karena seseorang—itu sangat manusiawi. Tapi beri batas waktu pada rasa itu.
Aku pernah membaca kisah dalam buku The Answer karya Allan dan Barbara Pease. Suatu ketika, mereka ditipu klien hingga ratusan juta rupiah. Mereka marah, kecewa, dan frustasi. Tapi akhirnya, mereka membuat keputusan: “Kita boleh marah sampai besok. Tapi setelah itu, hidup harus tetap berjalan.”
Kita tidak bisa mengontrol semua yang terjadi. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita bereaksi terhadapnya. Benci harus punya batas. Kesal harus punya ruang. Tapi jangan biarkan itu menjadi rumah yang menetap di hatimu. Kalau tidak, kamulah yang akan lelah. Dunia akan terus bergerak maju, dan kamu tidak boleh tertinggal.
Semua emosi—sedih, kecewa, marah—berhak diberi waktu. Bukan supaya kamu cepat sembuh, tapi supaya kamu tetap bisa hidup. Tetap bisa berbuat baik. Meskipun hati belum sepenuhnya sembuh.
Ingat, hidup bukan tentang siapa yang jalannya paling mulus. Tapi tentang siapa yang paling berani bangkit, meskipun sudah jatuh berkali-kali. Tentang siapa yang tetap memilih belajar dan mencintai, meskipun pernah disakiti atau menyakiti.
Jadi, kalau kamu pernah salah langkah, pernah gagal, atau pernah kehilangan sesuatu atau seseorang yang sebenarnya kamu ingin jaga—itu tidak apa-apa.
Yang penting sekarang adalah bagaimana kamu memilih melangkah dari titik ini.
Komentar
Posting Komentar