Nak...
Nak…
Ibu dengar kata itu, walau hanya lirih.
“Bu, aku kangen.”
Seperti angin sore yang pelan menyentuh daun jendela—
tenang, tapi menggetarkan.
Ibu juga kangen, Nak.
Bukan hanya pada suaramu,
tapi pada caramu memanggil Ibu dengan nada yang tak bisa ditiru siapa pun.
Pada langkahmu yang tergesa pulang saat hujan,
dan tawa kecilmu saat Ibu menyuguhkan teh yang selalu terlalu manis.
Kangen itu tak pernah sederhana, ya, Nak?
Ia datang tanpa mengetuk, lalu menetap diam di dada.
Tapi Ibu di sini. Selalu.
Menunggu kabar. Menunggu cerita. Menunggu peluk yang tak jadi kau kirimkan kemarin-kemarin.
Pulanglah, kalau bisa.
Atau telepon saja Ibu malam ini,
biar Ibu bisa dengar lagi suara yang selama ini Ibu pelajari sejak pertama kali kau menyebut “Ibu.”
Kalau kangenmu berat,
biar Ibu bantu menanggungnya.
Komentar
Posting Komentar