Cinta yang Kembali pada-Nya
"Aku takut…," ucap pemuda itu dengan suara bergetar, tatapannya kosong menembus langit malam. "Aku takut, cinta yang kumiliki ini sudah tak lagi murni. Bukan lagi karena Allah, tapi hanya terikat pada satu hamba-Nya."
Udara dingin menyelimuti malam itu, angin berhembus pelan membawa suara jangkrik dari sawah yang tak jauh dari tempat mereka duduk. Bulan sabit menggantung redup, seakan ikut menyaksikan getir yang tak mampu ia sembunyikan.
Pemuda itu mengusap wajahnya dengan telapak tangan, berusaha menahan air mata yang sudah sejak tadi mengalir. Namun semakin ia tahan, semakin deras jatuhnya. "Aku merasa… cinta Allah saja seharusnya sudah cukup, Rania," suaranya semakin lirih, nyaris seperti bisikan yang tertiup angin.
Rania menunduk. Hatinya gemetar menyaksikan kerentanan yang ditunjukkan di hadapannya. Ia tahu, pemuda itu bukan tipe yang mudah menangis. Namun kali ini, ia melihat air mata jatuh tanpa bisa ia bendung. Seolah setiap butirnya adalah beban yang telah lama ia pendam sendirian.
"Aku ingin menjaga hatiku tetap bersih," lanjutnya, "tapi setiap kali aku mengingatmu, ada rasa takut… takut kalau cinta ini justru menjauhkan aku dari Allah. Padahal seharusnya, aku mencintaimu justru karena-Nya."
Keheningan menyelimuti keduanya. Rania tak segera menjawab. Ia hanya menatap wajah lelaki itu yang penuh luka batin, sambil merasakan getir yang sama mengiris dirinya.
Dan malam itu, di bawah cahaya bulan yang redup, dua hati yang saling mencintai berusaha memahami: bahwa cinta sejati tak boleh berdiri sendiri, ia harus berjalan beriringan dengan cinta kepada Sang Pencipta.
Komentar
Posting Komentar