Part 2 - Rania

Rania yang duduk di sampingnya terdiam. Ia menoleh pelan, memperhatikan wajah lelaki itu. Ada guratan lelah di sana, ada luka batin yang sudah lama dipendam.

"Aku takut," lanjutnya, "kalau rasa ini hanya terikat padamu sebagai hamba-Nya. Padahal seharusnya, aku mencintaimu karena Dia. Tapi semakin hari… aku merasa Allah tergeser dalam hatiku."

Air matanya jatuh, menuruni pipi yang pucat diterpa cahaya bulan. Rania tercekat melihatnya. Lelaki yang biasanya tegar kini rapuh di hadapannya.

Dengan hati yang bergetar, Rania berusaha berkata. "Kau tahu, justru ketakutanmu itu tanda bahwa hatimu masih terjaga. Kau masih ingin Allah tetap yang utama."

Pemuda itu menunduk, kedua tangannya menutupi wajah. "Tapi mengapa aku merasa lemah, Rania? Setiap kali aku mengingatmu, aku merasa bersalah. Aku ingin mencintaimu karena Allah, tapi seringkali aku gagal."

Rania menahan napas. Hatinya ikut perih. Ia merasakan hal yang sama, tetapi tak pernah punya keberanian untuk mengakuinya. Kini, di hadapan pemuda itu, segalanya tersingkap.

Ia menatap lelaki itu dalam-dalam, lalu berbisik, "Kalau begitu… marilah kita belajar mencintai dengan cara yang benar. Bukan saling memiliki lebih dulu, tapi saling menuntun menuju Allah. Karena tanpa-Nya, kita bukan siapa-siapa."

Keheningan kembali menyelimuti. Namun kali ini bukan hening yang menekan, melainkan hening yang menenangkan. Dua hati yang bergetar, berusaha menegakkan cinta di jalan-Nya.

Dan di bawah cahaya bulan yang redup, doa-doa tak bersuara melayang ke langit, memohon agar cinta mereka tetap terjaga bukan menjauhkan, tapi semakin mendekatkan kepada Sang Pencipta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soal Hati

Menanti Mu

Aku Bermimpi