Postingan

Karena sejatinya, kita nggak pernah benar-benar tertinggal

Pernah nggak sih, kita merasa hidup ini seperti perlombaan? Seolah-olah ada garis finis yang harus dikejar, ada orang-orang yang lebih dulu sampai, dan kita takut tertinggal. Padahal sebenarnya, kita nggak sedang beradu dengan siapa pun. Nggak ada kompetisi, nggak ada pemenang, dan nggak ada yang benar-benar datang duluan atau belakangan. We are not running against the world. Kita sedang berlari melawan rasa takut, keraguan, dan ketidakpercayaan diri kita sendiri. Yang sering membuat kita lelah bukanlah perjalanan itu sendiri, melainkan pikiran yang terus membandingkan, yang takut gagal, yang terlalu sibuk mendengarkan suara-suara dari luar sampai lupa mendengar suara hati sendiri. Lalu, kenapa kita terburu-buru? Apakah karena takut tertinggal? Tapi tertinggal dari siapa? Bukankah setiap orang punya jalannya masing-masing? Ada yang jalannya lurus, ada yang berkelok, bahkan ada yang harus berhenti sejenak sebelum melanjutkan. Dan itu semua tidak apa-apa. Kita tidak pernah terlambat ...

Teruslah berjuang

Teruslah berjuang. Kita semua punya hak untuk lelah, untuk jatuh, untuk diam sejenak di tengah badai yang terlalu sering datang tanpa aba-aba. Tapi jangan lupa— meski jatuh itu wajar, bangkit adalah pilihan yang harus kita genggam erat. Tak apa jika langkahmu terseret, tak apa jika hatimu gemetar. Asal kau tetap memilih untuk maju, itu sudah cukup. Karena hidup bukan tentang siapa yang paling kuat, tapi siapa yang terus mencoba, meski berkali-kali gagal, meski hatinya pernah patah, meski dunia tak selalu ramah. Kita semua boleh jatuh, tapi harus bangkit kembali. Bukan karena kita tak pernah rapuh, tapi karena di dalam diri kita, selalu ada harapan kecil yang tak pernah benar-benar padam.

Terkadang, niat baik bisa melukai.

Terkadang, niat baik bisa melukai. Bukan karena kita ingin menyakiti, tapi karena kita hadir terlalu utuh— dengan segenap rasa, dengan hati yang tak tahu cara berjarak, dengan keinginan untuk menolong meski tak diminta. Kita lupa, bahwa tidak semua orang siap menerima kehadiran yang seutuh itu. Bahwa pelukan bisa terasa sesak bila yang dipeluk belum siap terbuka. Bahwa perhatian bisa terasa seperti tekanan jika ia datang di waktu yang salah. Dan kadang… justru karena kita terlalu tulus, kita lupa bahwa kebaikan pun butuh ruang, butuh waktu, butuh pemahaman. Jadi, jika suatu hari kau merasa ditolak padahal niatmu adalah cahaya, ingatlah—bukan cahayanya yang salah, mungkin mereka sedang belajar menyesuaikan mata yang lama hidup dalam gelap.

Nak...

Nak… Ibu dengar kata itu, walau hanya lirih. “Bu, aku kangen.” Seperti angin sore yang pelan menyentuh daun jendela— tenang, tapi menggetarkan. Ibu juga kangen, Nak. Bukan hanya pada suaramu, tapi pada caramu memanggil Ibu dengan nada yang tak bisa ditiru siapa pun. Pada langkahmu yang tergesa pulang saat hujan, dan tawa kecilmu saat Ibu menyuguhkan teh yang selalu terlalu manis. Kangen itu tak pernah sederhana, ya, Nak? Ia datang tanpa mengetuk, lalu menetap diam di dada. Tapi Ibu di sini. Selalu. Menunggu kabar. Menunggu cerita. Menunggu peluk yang tak jadi kau kirimkan kemarin-kemarin. Pulanglah, kalau bisa. Atau telepon saja Ibu malam ini, biar Ibu bisa dengar lagi suara yang selama ini Ibu pelajari sejak pertama kali kau menyebut “Ibu.” Kalau kangenmu berat, biar Ibu bantu menanggungnya.

Cerita ku pada ibu

Nak, ke mana perempuan yang sering kau ceritakan pada Ibu? Yang dulu kau sebut dalam tiap senyum dan sorot matamu yang tak bisa berbohong. Dulu, setiap malam kau bercerita tentangnya.... tentang caranya menyebut namamu, tentang langkahnya yang ringan seperti hujan awal musim. Tentang harapan-harapan kecil yang tumbuh di antara kalian, seperti benih yang kau siram dengan hati-hati. Tapi kini, sunyi. Namanya tak lagi melintasi bibirmu. Kau bicara tentang banyak hal: kuliah, langit, dan bahkan berita-berita politik yang tak kau pedulikan sebelumnya. Tapi tidak lagi tentang dia. Apa yang terjadi, Nak? Apakah ia pergi? Atau ada luka yang kau sembunyikan agar tak kulihat? Ibu tahu kau pandai menyimpan, tapi Ibu juga tahu kapan anaknya sedang berusaha menepis bayang-bayang yang belum sempat mengucap selamat tinggal. Bukan Ibu hendak mengungkit. Hanya saja, Ibu merindukan caramu mencintai. Merindukan binar di matamu yang tak Ibu temukan lagi akhir-akhir ini. Jika ia masih ti...

Jadi Baik

Setiap orang masih punya kesempatan untuk kembali menjadi lebih baik. Tak peduli seberapa besar kesalahan yang pernah dilakukan, sekelam apa pun masa lalu, dan seberat apa pun dosa yang pernah dibuat—kita tetap memiliki hak untuk berubah. Kita tetap punya ruang untuk memperbaiki diri. Jangan biarkan penyesalan mengunci langkah. Karena selama napas masih berhembus, selalu ada jalan untuk pulang—untuk bertumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih bijak, dan lebih bersih. Yang paling penting adalah semangat untuk kembali. Kembali kepada nilai-nilai yang pernah kita tinggalkan. Kembali kepada keyakinan yang dulu mungkin sempat kita abaikan. Bukan soal seberapa jauh kita telah melangkah menjauh, tapi seberapa besar tekad kita untuk mendekat lagi. Ingat, menjadi baik bukan tentang tidak pernah salah. Tapi tentang keberanian untuk bangkit setelah jatuh, dan kesungguhan untuk terus belajar menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Badai

Dalam perjalanan panjang ini, begitu banyak ujian yang kita hadapi. Sering kali kita menilai ujian itu hanya dari luarnya saja. Padahal, jika kita hadir secara utuh, kita akan memahami makna di balik setiap ujian. Aku pernah mendengar keluh kesah sahabat karibku, aku juga mendengar cerita dari orang-orang terdekatku. Aku hanya ingin mengatakan: percayalah, kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira. Aku meyakinkanmu bukan karena aku merasa kuat, tetapi karena aku tahu bagaimana rasanya berperang sendirian dengan pikiran-pikiran yang tak pernah diutarakan. Aku hanya ingin kamu tahu — di hidup yang fana ini, teruslah hadir sepenuh hati di hadapan Allah, dengan ketulusan yang utuh. Aku selalu percaya bahwa jalan yang terjal pun akan terlewati, dan jalan yang lapang akan segera datang. Ini hanyalah persoalan waktu. Jujur saja, mungkin aku tidak sekuat dirimu. Mungkin juga aku tidak sebersabar dirimu. Namun aku terus meyakinkan hatiku bahwa badai ini... pasti akan berlalu.