Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

Karena sejatinya, kita nggak pernah benar-benar tertinggal

Pernah nggak sih, kita merasa hidup ini seperti perlombaan? Seolah-olah ada garis finis yang harus dikejar, ada orang-orang yang lebih dulu sampai, dan kita takut tertinggal. Padahal sebenarnya, kita nggak sedang beradu dengan siapa pun. Nggak ada kompetisi, nggak ada pemenang, dan nggak ada yang benar-benar datang duluan atau belakangan. We are not running against the world. Kita sedang berlari melawan rasa takut, keraguan, dan ketidakpercayaan diri kita sendiri. Yang sering membuat kita lelah bukanlah perjalanan itu sendiri, melainkan pikiran yang terus membandingkan, yang takut gagal, yang terlalu sibuk mendengarkan suara-suara dari luar sampai lupa mendengar suara hati sendiri. Lalu, kenapa kita terburu-buru? Apakah karena takut tertinggal? Tapi tertinggal dari siapa? Bukankah setiap orang punya jalannya masing-masing? Ada yang jalannya lurus, ada yang berkelok, bahkan ada yang harus berhenti sejenak sebelum melanjutkan. Dan itu semua tidak apa-apa. Kita tidak pernah terlambat ...

Teruslah berjuang

Teruslah berjuang. Kita semua punya hak untuk lelah, untuk jatuh, untuk diam sejenak di tengah badai yang terlalu sering datang tanpa aba-aba. Tapi jangan lupa— meski jatuh itu wajar, bangkit adalah pilihan yang harus kita genggam erat. Tak apa jika langkahmu terseret, tak apa jika hatimu gemetar. Asal kau tetap memilih untuk maju, itu sudah cukup. Karena hidup bukan tentang siapa yang paling kuat, tapi siapa yang terus mencoba, meski berkali-kali gagal, meski hatinya pernah patah, meski dunia tak selalu ramah. Kita semua boleh jatuh, tapi harus bangkit kembali. Bukan karena kita tak pernah rapuh, tapi karena di dalam diri kita, selalu ada harapan kecil yang tak pernah benar-benar padam.

Terkadang, niat baik bisa melukai.

Terkadang, niat baik bisa melukai. Bukan karena kita ingin menyakiti, tapi karena kita hadir terlalu utuh— dengan segenap rasa, dengan hati yang tak tahu cara berjarak, dengan keinginan untuk menolong meski tak diminta. Kita lupa, bahwa tidak semua orang siap menerima kehadiran yang seutuh itu. Bahwa pelukan bisa terasa sesak bila yang dipeluk belum siap terbuka. Bahwa perhatian bisa terasa seperti tekanan jika ia datang di waktu yang salah. Dan kadang… justru karena kita terlalu tulus, kita lupa bahwa kebaikan pun butuh ruang, butuh waktu, butuh pemahaman. Jadi, jika suatu hari kau merasa ditolak padahal niatmu adalah cahaya, ingatlah—bukan cahayanya yang salah, mungkin mereka sedang belajar menyesuaikan mata yang lama hidup dalam gelap.

Nak...

Nak… Ibu dengar kata itu, walau hanya lirih. “Bu, aku kangen.” Seperti angin sore yang pelan menyentuh daun jendela— tenang, tapi menggetarkan. Ibu juga kangen, Nak. Bukan hanya pada suaramu, tapi pada caramu memanggil Ibu dengan nada yang tak bisa ditiru siapa pun. Pada langkahmu yang tergesa pulang saat hujan, dan tawa kecilmu saat Ibu menyuguhkan teh yang selalu terlalu manis. Kangen itu tak pernah sederhana, ya, Nak? Ia datang tanpa mengetuk, lalu menetap diam di dada. Tapi Ibu di sini. Selalu. Menunggu kabar. Menunggu cerita. Menunggu peluk yang tak jadi kau kirimkan kemarin-kemarin. Pulanglah, kalau bisa. Atau telepon saja Ibu malam ini, biar Ibu bisa dengar lagi suara yang selama ini Ibu pelajari sejak pertama kali kau menyebut “Ibu.” Kalau kangenmu berat, biar Ibu bantu menanggungnya.

Cerita ku pada ibu

Nak, ke mana perempuan yang sering kau ceritakan pada Ibu? Yang dulu kau sebut dalam tiap senyum dan sorot matamu yang tak bisa berbohong. Dulu, setiap malam kau bercerita tentangnya.... tentang caranya menyebut namamu, tentang langkahnya yang ringan seperti hujan awal musim. Tentang harapan-harapan kecil yang tumbuh di antara kalian, seperti benih yang kau siram dengan hati-hati. Tapi kini, sunyi. Namanya tak lagi melintasi bibirmu. Kau bicara tentang banyak hal: kuliah, langit, dan bahkan berita-berita politik yang tak kau pedulikan sebelumnya. Tapi tidak lagi tentang dia. Apa yang terjadi, Nak? Apakah ia pergi? Atau ada luka yang kau sembunyikan agar tak kulihat? Ibu tahu kau pandai menyimpan, tapi Ibu juga tahu kapan anaknya sedang berusaha menepis bayang-bayang yang belum sempat mengucap selamat tinggal. Bukan Ibu hendak mengungkit. Hanya saja, Ibu merindukan caramu mencintai. Merindukan binar di matamu yang tak Ibu temukan lagi akhir-akhir ini. Jika ia masih ti...

Jadi Baik

Setiap orang masih punya kesempatan untuk kembali menjadi lebih baik. Tak peduli seberapa besar kesalahan yang pernah dilakukan, sekelam apa pun masa lalu, dan seberat apa pun dosa yang pernah dibuat—kita tetap memiliki hak untuk berubah. Kita tetap punya ruang untuk memperbaiki diri. Jangan biarkan penyesalan mengunci langkah. Karena selama napas masih berhembus, selalu ada jalan untuk pulang—untuk bertumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih bijak, dan lebih bersih. Yang paling penting adalah semangat untuk kembali. Kembali kepada nilai-nilai yang pernah kita tinggalkan. Kembali kepada keyakinan yang dulu mungkin sempat kita abaikan. Bukan soal seberapa jauh kita telah melangkah menjauh, tapi seberapa besar tekad kita untuk mendekat lagi. Ingat, menjadi baik bukan tentang tidak pernah salah. Tapi tentang keberanian untuk bangkit setelah jatuh, dan kesungguhan untuk terus belajar menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Badai

Dalam perjalanan panjang ini, begitu banyak ujian yang kita hadapi. Sering kali kita menilai ujian itu hanya dari luarnya saja. Padahal, jika kita hadir secara utuh, kita akan memahami makna di balik setiap ujian. Aku pernah mendengar keluh kesah sahabat karibku, aku juga mendengar cerita dari orang-orang terdekatku. Aku hanya ingin mengatakan: percayalah, kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira. Aku meyakinkanmu bukan karena aku merasa kuat, tetapi karena aku tahu bagaimana rasanya berperang sendirian dengan pikiran-pikiran yang tak pernah diutarakan. Aku hanya ingin kamu tahu — di hidup yang fana ini, teruslah hadir sepenuh hati di hadapan Allah, dengan ketulusan yang utuh. Aku selalu percaya bahwa jalan yang terjal pun akan terlewati, dan jalan yang lapang akan segera datang. Ini hanyalah persoalan waktu. Jujur saja, mungkin aku tidak sekuat dirimu. Mungkin juga aku tidak sebersabar dirimu. Namun aku terus meyakinkan hatiku bahwa badai ini... pasti akan berlalu.

Hidup Tidak Punya Naskah

Gambar
Hidup tidak punya naskah. Jalani saja. Teman-teman, dulu aku pernah berpikir bahwa hidup itu seperti kanvas kosong yang bisa kita lukis sesuka hati. Tanpa sketsa, tanpa garis yang pasti, tanpa warna yang wajib. Tapi justru di sanalah letak keindahannya. Kita bebas mencoret, menghapus, dan memulai lagi. Pertanyaannya, kenapa kita sering lupa bahwa kegagalan, rasa bersalah, atau kebencian itu hanyalah cat yang belum kering? Kita bisa mengubahnya, kalau kita mau. Namun, seiring waktu berjalan, aku mulai menyadari satu hal penting: hidup tidak sesederhana atau sesistematis itu. Kadang kita gagal tanpa tahu alasannya. Kadang, orang yang dulunya terasa sangat dekat, perlahan menjadi asing—tanpa penjelasan yang masuk akal. Dan yang paling menyakitkan, terkadang kita bukan hanya menjadi korban dari cerita yang tidak berjalan sesuai harapan, tapi juga tanpa sadar menjadi bagian dari retaknya cerita itu. Aku pernah ada di titik itu. Bukan sekadar tentang ditinggal pergi seseorang, tapi tenta...

Fokus

Saya lelah. Dan setiap kali rasa lelah itu datang, yang tiba-tiba terlintas di pikiran saya bukan pekerjaan, bukan target hidup, melainkan tentang pasangan. Saya sering bertanya-tanya, mengapa saat diri sedang paling rapuh, justru yang terlintas adalah keinginan untuk ditemani seseorang? Dari sana, saya mulai menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang pada dasarnya ingin dimengerti. Dan ketika tidak ada yang memahami, kita mulai mencari—siapa pun itu, bahkan yang mungkin sebenarnya kurang tepat. Saya menempuh studi Jawa Barat, mengambil jurusan Pertanian. Sejak awal, saya memegang prinsip: ingin fokus. Fokus pada perkuliahan, fokus pada pekerjaan, dan fokus membereskan hidup saya sendiri. Awalnya, saya berpikir bahwa teman-teman mahasiswa dan mahasiswi di sini juga akan berpegang pada prinsip yang sama, mengingat kami sama-sama menempuh pendidikan Magister. Namun kenyataannya, tidak semua mampu bertahan pada ujian itu. Termasuk saya sendiri—yang sering menyampaikan pesan tentang pen...

Analogi Cermin

Aku sering menganalogikan bahwa hidup itu seperti cermin. Apa yang kita pikirkan dan kita lakukan, itulah yang akan kembali ke kita. Kalau kamu terus merasa jadi korban, ya hidupmu akan terasa seperti korban. Kalau kamu terus menyalahkan orang lain, hidupmu akan mempertemukanmu dengan lebih banyak orang untuk disalahkan. Tapi kalau kamu mulai bilang ke diri sendiri, "Oke, cukup. Aku yang tanggung jawab," kamu bakal mulai ngerasain perubahan yang nyata. Masalahnya cuma satu: kita terlalu sering mengeluh. Dan jujur aja, ngeluh itu nagih. Kita suka banget drama. Suka banget dengerin diri sendiri cerita ke orang lain tentang betapa susahnya hidup kita. Tapi setelah itu? Kita nggak ngelakuin apa-apa. Dan tau nggak? 80% orang sebenarnya nggak peduli sama keluhan kita. 20% sisanya? Mereka malah senang ngelihat kita susah. Sadis, ya? Tapi nyata. Jadi mulai sekarang, kalau kamu nggak suka sesuatu, ubah. Kalau kamu kecewa, ambil tindakan. Dan kalau kamu pengen hidupmu berubah, berh...

Heart

Melapangkan hati bukan berarti tak pernah terluka, tapi tentang bagaimana kita belajar menerima apa yang tidak bisa kita ubah. Hati yang lapang tidak muncul begitu saja—ia lahir dari pergulatan, dari luka yang diikhlaskan, dari kecewa yang dipeluk dengan sabar. Kadang, kita terlalu sibuk menggenggam erat apa yang telah pergi, hingga lupa bahwa kelegaan justru datang saat kita melepaskan. Ada hal-hal yang memang tidak berjalan sesuai harapan, dan itu tidak apa-apa. Tidak semua luka harus dibalas, tidak semua kata harus dijawab. Melapangkan hati adalah bentuk keberanian, memilih damai daripada amarah, memilih diam daripada menyulut api. Saat kita tidak bisa mengubah keadaan, kita masih bisa mengubah cara hati menyikapinya. Di situlah kekuatan yang sesungguhnya. Dalam keheningan, aku belajar bahwa hati yang lapang adalah tempat paling indah bagi ketenangan menetap. Tidak lagi penuh sesak oleh prasangka, tidak lagi berat oleh amarah. Hati yang lapang adalah rumah bagi jiwa yang ingin ber...

Rumah

Ada rindu yang tak bisa dituliskan, hanya bisa dirasakan di dada yang sesak oleh sunyi. Aku rindu pulang. Bukan sekadar kembali ke tempat tidur dan dinding-dinding tua, tapi pulang ke pelukan kehangatan, ke tawa yang sederhana, dan ke wajah-wajah yang menyimpan kenangan. Rumah bukan hanya bangunan, ia adalah rasa—rasa aman, rasa utuh, rasa diterima. Seringkali, di tengah hiruk pikuk dan langkah yang tak berhenti, aku merasa asing di dunia yang ramai. Lalu ingatanku melayang pada sore-sore di beranda, aroma masakan dari dapur, suara azan dari surau kecil di ujung gang. Semua itu sederhana, tapi justru di situlah aku merasa hidup. Rindu ini perlahan menjadi doa: semoga jarak tidak membunuh kenangan, dan waktu tidak menghapus hangatnya pulang. Pulang, bagiku, bukan hanya kembali secara fisik. Ia adalah perjalanan batin, kembali pada nilai-nilai yang dulu ditanam sejak kecil, kembali pada hati yang tenang, pada iman yang bersahaja. Di antara langkah-langkah berat dan kesendirian yang pan...

Alone

Aku dan kesendirian, berjalan berdampingan dalam sunyi yang panjang. Tak selalu mudah, namun di sanalah aku menemukan ruang untuk merenung dan memperbaiki diri. Saat dunia terasa jauh dan gema tawa tak lagi terdengar, aku tahu bahwa Allah tidak pernah benar-benar meninggalkanku. Kesendirian bukan akhir, tapi awal dari pertemuan yang lebih dalam dengan-Nya. Taat bukan perkara ringan. Ia menuntut hati yang tunduk dan jiwa yang sabar. Dalam sunyi, aku belajar menata niat, menahan diri dari keinginan yang menyesatkan, dan memilih jalan yang kadang sepi namun penuh berkah. Ada rasa sakit, ada perjuangan, tapi juga ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Dalam diam, aku mendengar suara hidayah mengetuk pintu nurani. Maka aku terus melangkah, meski pelan dan tertatih. Aku tahu, kesendirian ini bukan hukuman, melainkan bentuk cinta dari-Nya agar aku lebih dekat. Dalam setiap sujudku, aku titipkan harap dan luka. Dalam setiap doa, aku bisikkan kekuatan untuk tetap istiqamah. Aku ...

Fana

Jadi, apa sebenarnya yang engkau cari? Apakah semua jerih payahmu hanya untuk mendapatkan pengakuan dari manusia—pujian yang fana dan perhatian yang mudah hilang tertiup waktu? Jika hanya itu tujuannya, sungguh, semua itu tak akan pernah benar-benar memuaskan jiwa. Sebab hati manusia diciptakan untuk mencari sesuatu yang lebih tinggi, lebih kekal—bukan sekadar validasi dari sesama. Sering kali kita lupa, bahwa kehidupan ini bukan semata tentang menjadi terlihat, melainkan tentang menjadi berarti di hadapan Sang Pencipta. Ketika engkau mengejar dunia, ia akan terus berlari menjauh. Namun saat engkau mengejar ridha Allah, dunia justru akan mengikuti dengan cara yang tidak pernah engkau duga. Maka berhentilah sejenak, tenangkan hatimu, dan tanyakan pada jiwamu: “Apakah aku sedang berjalan menuju-Nya, atau justru menjauh?” Bangkitlah, wahai jiwa yang letih. Jangan biarkan langkahmu terhenti hanya karena dunia tidak memandangmu. Sebab ada Yang Maha Melihat setiap tetesan air matamu, setia...

Validasi

Jadi, apa sebenarnya yang kamu cari? Apakah semua ini hanya demi validasi dari manusia lain—pengakuan, tepuk tangan, dan pujian yang cepat menguap? Jika iya, mungkin sudah saatnya kamu berhenti sejenak dan bertanya pada dirimu sendiri: benarkah itu cukup untuk mengisi hatimu yang kosong? Kita sering terjebak dalam bayang-bayang ekspektasi orang lain, mengejar standar yang tak pernah kita tetapkan sendiri. Padahal, pengakuan dari luar tak akan pernah mampu menggantikan ketenangan dari dalam. Semua itu akan terasa hampa jika tidak selaras dengan siapa dirimu sebenarnya dan apa yang benar-benar ingin kamu wujudkan dalam hidup ini. Bangkitlah. Lepaskan beban pencitraan dan mulai dengarkan suara hatimu sendiri. Di balik keraguan dan luka, ada panggilan hidup yang menantimu untuk ditemukan. Temukan maknanya, jalani dengan keyakinan, dan biarkan langkahmu diarahkan oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar penilaian manusia. Saat itulah, kamu akan benar-benar hidup.

Hope

Menyerah bukanlah pilihan, bahkan ketika langkah terasa berat dan tujuan tampak jauh. Setiap perjuanganmu hari ini adalah bagian dari cerita besar yang sedang kamu tulis—cerita tentang keberanian, ketekunan, dan harapan. Jangan biarkan rasa lelah menutup cahaya semangatmu, karena setiap tetes keringatmu memiliki arti yang lebih besar dari yang kamu bayangkan. Ingatlah, di rumah ada orang-orang yang selalu menunggumu. Mereka tidak menilai dirimu dari pencapaian atau keberhasilan semata. Bagi mereka, proses yang kamu jalani, perjuangan yang tak terlihat, dan keberanianmu untuk tetap bertahan adalah hal yang paling membanggakan. Kehadiranmu—bukan sekadar hasilmu—adalah hal yang paling mereka rindukan. Jadi teruslah melangkah, meski perlahan. Pulanglah dengan hati yang utuh, meski belum membawa kemenangan besar. Karena bagimu mungkin ini hanya tentang perjalanan hidup, tapi bagi mereka di rumah, kamu adalah harapan, kebanggaan, dan doa yang selalu dinantikan pulangnya.